Ferri yang bertarip 25 ribu per orang, sepeda motor 15 ribu, mobil 150 ribu perak, lepas landas jam 5:15, dengan muatan 7 truk, satu sedan, satu kijang, satu sepeda motor dan 60 orang penumpang. Ferri bernama Pradipta Darma terkesan bersih. Nampaknya kapal bekas, baru dibeli dari Jepang. Ruang penumpang ber-AC terasa sangat lapang. Kursi empuk panjang berubah jadi tempat tidur yang cukup nyaman.

Waktu dihabiskan dengan menonton video yang diputar terus menerus sampai tengah malam. Bosan nonton video, naik ke geladak atas kapal menikmati alam, duduk santai di kursi malas yang menghadap ke laut bebas. Sekali-kali bolehlah bersantai seakan Adnan Kasogi di kapal pesiarnya. Cahaya flare kilang Pertamina dan anjungan lepas pantai terlihat berpendar menerangi horizon dengan latar belakang temaramnya lampu kota yang tersisa. Angin bertiup lemah sekali, tak cukup kuat untuk menghasilkan riak dan mengibarkan bendera kapal. Cahaya purnama penuh menerangi permukaan laut yang tampak pucat seperti sebuah danau besar yang enggan mengalir ke laut. Kapal melenggang dengan tenangnya.

Di kapal, air tawar tersedia. Untungnya penumpang tak terlalu banyak. Jadi agak tega menggunakan-nya untuk mandi dan pakai keramas lagi. Bangun jam 5 pagi, laut masih gelap. Setelah sarapan dengan mie instant dan secangkir kopi di cafetaria, jalan-jalan sebentar ke geladak atas. Daratan Sulawesi sudah nampak dikejauhan. Ada perasaan gembira melihat daratan Sulawesi, seperti Christopher Colombus melihat daratan Amerika pertama kalinya. Tanda-tanda kota Mamuju terlihat dari warna putih bangunan menara Masjid. Dibelakangnya nampak gunung-gunung tinggi. Sebuah pemandangan langka yang jika diperbandingkan dengan Kalimantan.