Dari puncak ketinggian, KAMI menelusuri jalan menurun dengan tikungan yang sama tajamnya dan sama curamnya dengan saat menanjak dan disana-sini ditemui longsoran, akhirnya sampailah KAMI di Rikit Gaib yang jalannya mulai mendatar. Hujan mulai turun. Terpaksa jaket hujan dikeluarkan dan sepatu disarungi dengan plastik supaya air tidak masuk ke dalam kaki . Hujan makin deras namun perjalanan tetap dilanjutkan, walaupun dengan kecepatan yang sangat rendah 30 km/jam. Akhirnya sampailah KAMI di Blangkajeren jam 14.35 dan disinilah baru bertemu warung nasi. Perut sudah kukuruyuk minta diisi, walaupun dengan menu apa adanya, makan dalam curahan hujan lebat sangat lahap sekali. Kami makan sate yang agak aneh rasanya gurih tetapi bertulang kecil-kecil. Mau bertanya takut tersinggung maklum orang luar harus hati-hati bertutur kata, tetapi kami sepakat untuk memberi nama sate "Gibbon" (Gibbon adalah nama sejenis monyet hitam berlengan panjang. Hiii .........). Hujan masih lebat, menurut pemilik warung nasi, Ketambe masih sekitar 3 jam lagi. Mau bermalam di sini tanggung rasanya. Akhirnya dibawah curahan hujan lebat, perjalanan dilanjutkan, setelah mengisi bahan bakar full tank premium di kios kaki lima. Hujan makin deras, kendaraan terpaksa jalan merangkak sekitar 20-30 km/jam karena jalan licin. Walau tingkat kesulitannya biasa tapi kondisinya sangat darurat, maklum sedang dalam pengerjaan untuk pelebaran dan peningkatan kualitas, hampir tiap satu kilometer, ada longsor. Yang paling parah adalah terban-nya badan jalan sehingga hanya bisa dilalui oleh sepeda motor atau Jeep dengan sangat hati-hati kalau tidak mau ditelan sungai Alas jauh dibawah sana.